Senin, 23 Februari 2009

BURSAN, Polhut BKSDA NTB ¥ Menggalang Masyarakat, Amankan TWAL Gili Matra


Bursan, pria kelahiran Sumbawa 48 tahun lalu awalnya bercita-cita menjadi seorang guru, namun nasib menentukan lain, sebagian hidupnya dijalani menjadi seorang Polisi Hutan. Ia seorang Polisi Hutan yang dinilai berhasil melaksanakan tugasnya, dan merupakan salah seorang pribadi maupun polhut yang mendapat penghargaan dari Lipi corralsmap.
BKSDA NTB adalah instansi dimana Bursan mengabdikan dirinya sebagai seorang pegawai negeri sipil selama hampir 20 tahun lebih. Sebagai seorang Polisi Hutan ia siap ditugaskan dimana saja. Penugasanya di TWAL Gili Matra berawal dari sebuah kasus dibangunnya Pos Jaga di kawasan itu, Pos jaga telah berdiri, tetapi tidak ditempati oleh petugas. Hal tersebut mengundang protes warga nelayan yang konsen terhadap keamanan laut. Masyarakat Nelayan mengancam akan membakar Pos jaga tersebut apabila tidak segera ditempatkan petugas polisi hutan. “Ketika dipanggil Kepala Balai, saya menawarkan diri dan bersedia untuk ditugaskan disana” ujar Bursan.
Menggalang Masyarakat
Taman Wisata Alam Laut Gili Matra ditetapkan berdasarkan SK. Menhut No. 85/Kpts-II/1993. Seluas 2.954 Ha. Kawasan ini terdiri dari 3 pulau yang dikelilingi perairan laut Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan, terletak di Desa Gili Indah Kec. Pemenang, Kabupaten Lombok Barat. Beberapa potensi flora dan fauna yang dimiliki diantaranya : Bakau, Asam Laut, Rumput Laut. Beberapa jenis burung yang hidup disekitar kawasan TWAL Gili Matra diantaranya : Raja Udang, Tekukur dan Elang.
Kawasan ini memiliki potensi wisata yang cukup menarik yaitu pantai pasir putih yang indah, berbagai jenis terumbu karang diantaranya: Karang Lunak (Heliophora sp.), Anthiphates sp, Montiphora dan Acropbora dan berbagai jenis ikan hias yang menawan. Aktifitas wisata yang dapat dilakukan : diving, snorkling, sun bathing, kanoing, swimming, foto hunting dan fishing.
Keamanan kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Matra cukup rawan, beberapa kasus gangguan keamanan yang sangat menonjol adalah penangkapan ikan dengan bom dan potassium. Sebelumnya, pengamanan kawasan dilakukan oleh Polisi dan Angkatan Laut, namun kedua institusi itu tidak dapat menekan gangguan keamanan kawasan, bahkan tindak pidana penangkapan ikan dapat terjadi 9 sampai 12 kali setiap harinya.
Pihak BKSDA NTB kemudian mengkaji permasalahan keamanan yang cukup kompleks di kawasan Gili Matra, dan mencari pola yang tepat dan cocok dengan kondisi sosial masyarakat nelayan setempat. Dengan arahan Kepala BKSDA NTB (waktu itu), Ir. Edi Djuharsa, Msi, kemudian pola tersebut dikembangkan oleh Bursan dengan mengembangkan pola pengamanan berbasis masyarakat, yaitu dengan melibatkan masyarakat sebagai tenaga pengamanan. “Ketika saya sosialisasikan rencana pengamanan bersama masyarakat nelayan, alhamdulillah tokoh masyarakat merespon dengan positif, dan hal ini menambah rasa percaya diri saya dalam melaksanakan tugas” kata Bursan. Dalam setiap operasi pengamanan unsur masyarakat selalu memberikan dukungan, baik informasi maupun turut serta dalam operasi.
Dalam upaya melembagakan pola pengamanan tersebut, Bursan membentuk Front Pemuda Satgas Gili dengan tugas melakukan patroli dan pengamanan tersangka. Sanksi terhadap tersangka selain merujuk kepada hukum positif, juga diterapkan aturan lokal yang dikenal dengan awig-awig, yaitu berupa kesepakatan bersama masyarakat dalam memberikan sanksi kepada pelaku perusak lingkungan. Dalam awig-awig ditetapkan 3 poin kesepakatan, yaitu:
1.Barang siapa terbukti melakukan penangkapan ikan dengan bom dan potasium didenda 1 juta rupiah.
2. Apabila pelaku yang sama melakukan penangkapan ikan kembali, maka pelaku tersebut selain ditangkap, sarana pendukungnya dibakar.
3. Apabila pelaku yang sama terbukti mengulangi perbuatannya, maka pelaku tersebut dipukul secara masal tetapi tidak sampai mati.
Ditinjau dari segi hukum, awig-awig merupakan kesepakatan masyarakat yang bertentangan dengan hukum (KUHP), tetapi keberadaan awig-awig terbukti efektif dalam menekan laju gangguan keamanan di kawasan TWAL Gilimatra. Dari ketiga poin awig-awig, poin ke dua dan ke tiga belum pernah diterapkan, karena ketentuan pada poin pertama sudah cukup membuat efek jera pelaku. Sedangkan uang yang diperoleh dari denda sebesar satu juta rupiah digunakan untuk kepentingan pengamanan (alat komunikasi). Sistem tersebut memberikan dampak posistif, sejak 2002 s/d sekarang tidak pernah ada lagi penangkapan ikan dengan potasium/bom. Bentuk lain pembinaan yang dilakukan Bursan adalah memotivasi masyarakat nelayan sekitar untuk melakukan rehabilitasi terumbu karang melalui transplantasi dengan biaya murni dari masyarakat.
Kegiatan rehabilitasi terumbu karang yang diprakarsai Bursan di TWAL Gilimatra rupanya tercium oleh LIPI, sehingga setelah melalui beberapa tahap penilaian, polhut setengah baya itu dinobatkan sebagai penerima corral map award dari Lipi corraslmap Jakarta sebagai pelestari terumbu karang. Dampak dari penghargaan tersebut, banyak pejabat dari propinsi lain melakukan studi banding ke NTB, tercatat ada 7 Provinsi yang datang, diantaranya dari Taman Nasional Laut Bunaken beserta anggota DPRDnya.
Selain pembinaan kepada nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan potasium/bom, juga dilakukan pembinaan terhadap nelayan yang menggunakan alat tangkap berupa bubu dan jaring murami (sama dengan pukat harimau). Khusus nelayan yang menggunakan jaring murami telah dibuat kesepakatan antara masyarakat pariwisata dengan nelayan, masyarakat pariwisata memberi kontribusi tiga juta rupiah/bulan kepada kelompok nelayan jaring murami dengan ketentuan tidak menangkap ikan di wilayah konservasi.
Kiprah Bursan sebagai seorang polhut dalam melaksanakan tugasnya didukung oleh pimpinan dan teman sejawatnya di BKSDA NTB, untuk urusan penyelesaian perkara sampai di pengadilan perannya cukup menonjol. Untuk melancarkan tugas-tugas kedinasannya Bursan membina hubungan dengan elit pejabat Provinsi NTB. Hal itu tidak sulit bagi Bursan, dengan posisinya sebagai Ketua Perbakin NTB maka jalan untuk membina hubungan dan koordinasi dengan pihak lain terbuka lebar. Selain itu Bursan termasuk salah seorang tokoh NTB yang masuk dalam Buku berjudul Orang Biasa Yang Tidak Biasa.
Pada perbincangannya dengan MKI, Bursan menuturkan pengalamannya yang menegangkan ketika mendapat tugas menangkap segerombolan penebang liar di dalam kawasan hutan. “ Saya bersama enam orang polhut disandera oleh penebang liar, leher saya dikalungi golok dan mereka minta agar catatan dan dokumentasi ditinggalkan” kata Bursan sambil menunjukkan bekas luka goresan golok di lengannya. “Saat itu tidak ada pilihan, akhirnya kami mengalah, tetapi kami kembali lagi untuk menangkap mereka dan sebagai ganjarannya mereka divonis 3 tahun penjara” Bursan menambahkan.
Menegakan hukum di hutan belantara memang berat, jika polhut menjadi korban penebang liar akankah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan?Bursan hanya menjawab dengan senyuman µ (ud-mki)

1 komentar:

  1. prnh sy bks4an jd community organizer d gili meno, dlm kgiatn program ecoturism 3gili kurun taon 2000~2002. lembaga sy JARI merger dg ya2san SAMUDRA. a/n Aliansi 3Gili. ada bbrp input yg kontradiktif dg realita jabaran artikel d atas. mgkn pd blog akan jg sy kupas.

    BalasHapus